Minggu, 30 Agustus 2015

Karena Ukuran Kita Tak Sama

Cerita ini saya sunting dari Salim A. Fillah
"seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi" Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta. Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya, “Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!” Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab. ”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya, “Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!” Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras. kisah inspirasi ”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang. “Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”. ”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!” “Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“ “Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!” Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam, ”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.” ‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki. ‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya. ‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar. Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda. Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya. “Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.” Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi. Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya. Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz. Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf. Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari. Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu. “Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?” “Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku. Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!” Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali. Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti. Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah. Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa. Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”. Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain. Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya. Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”

Rumi dan Botol Minumannya

Waduh, sudah lama nggak nulis nih.... Cerita saya ambil inspiratif saya ambil dari situs lain...semoga dapat memberikan hikmah... Suatu malam, Maulana Jalaluddin Rumi mengundang Syams Tabrizi ke rumahnya. Sang Mursyid Syamsuddin pun menerima undangan itu dan datang ke kediaman Maulana. Setelah semua hidangan makan malam siap, Syams berkata pada Rumi; “Apakah kau bisa menyediakan minuman untukku?”. (yang dimaksud : arak / khamr) Maulana kaget mendengarnya, “memangnya anda juga minum?’. “Iya”, jawab Syams. Maulana masih terkejut,”maaf, saya tidak mengetahui hal ini”.
“Sekarang kau sudah tahu. Maka sediakanlah”. “Di waktu malam seperti ini, dari mana aku bisa mendapatkan arak?”. “Perintahkan salah satu pembantumu untuk membelinya”. “Kehormatanku di hadapan para pembantuku akan hilang”. “Kalau begitu, kau sendiri pergilah keluar untuk membeli minuman”. “Seluruh kota mengenalku. Bagaimana bisa aku keluar membeli minuman?”. “Kalau kau memang muridku, kau harus menyediakan apa yang aku inginkan. Tanpa minum, malam ini aku tidak akan makan, tidak akan berbincang, dan tidak bisa tidur”. Karena kecintaan pada Syams, akhirnya Maulana memakai jubahnya, menyembunyikan botol di balik jubah itu dan berjalan ke arah pemukiman kaum Nasrani. Sampai sebelum ia masuk ke pemukiman tersebut, tidak ada yang berpikir macam-macam terhadapnya, namun begitu ia masuk ke pemukiman kaum Nasrani, beberapa orang terkejut dan akhirnya menguntitnya dari belakang. Mereka melihat Rumi masuk ke sebuah kedai arak. Ia terlihat mengisikan botol minuman kemudian ia sembunyikan lagi di balik jubah lalu keluar. Setelah itu ia diikuti terus oleh orang-orang yang jumlahnya bertambah banyak. Hingga sampailah Maulana di depan masjid tempat ia menjadi imam bagi masyarakat kota. Tiba-tiba salah seorang yang mengikutinya tadi berteriak; “Ya ayyuhan naas, Syeikh Jalaluddin yang setiap hari jadi imam shalat kalian baru saja pergi ke perkampungan Nasrani dan membeli minuman!!!”. Orang itu berkata begitu sambil menyingkap jubah Maulana. Khalayak melihat botol yang dipegang Maulana. “Orang yang mengaku ahli zuhud dan kalian menjadi pengikutnya ini membeli arak dan akan dibawa pulang!!!”, orang itu menambahi siarannya. Orang-orang bergantian meludahi muka Maulana dan memukulinya hingga serban yang ada di kepalanya lengser ke leher. Melihat Rumi yang hanya diam saja tanpa melakukan pembelaan, orang-orang semakin yakin bahwa selama ini mereka ditipu oleh kebohongan Rumi tentang zuhud dan takwa yang diajarkannya. Mereka tidak kasihan lagi untuk terus menghajar Rumi hingga ada juga yang berniat membunuhnya. Tiba-tiba terdengarlah suara Syams Tabrizi; “Wahai orang-orang tak tahu malu. Kalian telah menuduh seorang alim dan faqih dengan tuduhan minum khamr, ketahuilah bahwa yang ada di botol itu adalah cuka untuk bahan masakan. Seseorang dari mereka masih mengelak; “Ini bukan cuka, ini arak”. Syams mengambil botol dan membuka tutupnya. Dia meneteskan isi botol di tangan orang-orang agar menciumnya. Mereka terkejut karena yang ada di botol itu memang cuka. Mereka memukuli kepala mereka sendiri dan bersimpuh di kaki Maulana. Mereka berdesakan untuk meminta maaf dan menciumi tangan Maulana hingga pelan-pelan mereka pergi satu demi satu. Rumi berkata pada Syams, “Malam ini kau membuatku terjerumus dalam masalah besar sampai aku harus menodai kehormatan dan nama baikku sendiri. Apa maksud semua ini?”. “Agar kau mengerti bahwa wibawa yang kau banggakan ini hanya khayalan semata. Kau pikir penghormatan orang-orang awam seperti mereka ini sesuatu yang abadi? Padahal kau lihat sendiri, hanya karena dugaan satu botol minuman saja semua penghormatan itu sirna dan mereka jadi meludahimu, memukuli kepalamu dan hampir saja membunuhmu. Inilah kebanggaan yang selama ini kau perjuangkan dan akhirnya lenyap dalam sesaat. Maka bersandarlah pada yang tidak tergoyahkan oleh waktu dan tidak terpatahkan oleh perubahan zaman.

Selasa, 16 Februari 2010

Sahabat Sejati


Ini adalah suatu kisah yang cukup menarik yang aku peroleh dari browsing.
"Seorang pemuda dengan bangga dan penuh cinta berjalan di atas karpet merah bertabur bunga. Ia merasa dirinya orang yang paling bahagia di dunia. Seorang bidadari cantik yang baik hati telah bersedia menjadi istrinya di pelaminan. Pada hari pernikahannya ini, ia berjanji untuk mencintai istrinya hingga akhir hayatnya. Hidup mereka semakin sempurna dengan lahirnya seorang putri cantik yang sehat dan pintar.

Memasuki pernikahan ini, ia membawa dengan dirinya, suatu kebiasaan buruk yang sudah ada sejak dirinya menginjak bangku kuliah: merokok. Kebiasaan merokok ini ia lakukan di mana saja, dan hampir kapan saja. Saat sehabis makan, saat penat dan stress, saat lapar dan mengantuk, di meja makan, di ruang tamu, di kamar tidur, di kantor, bahkan saat berekreasi akhir pekan dengan istri dan anaknya. Sang istri dengan sabar menasehati agar ia meninggalkan kebiasaan buruknya tersebut karena kebiasaan ini jelas merugikan kesehatan dirinya, dan asap rokok yang dihembusnya lebih berbahaya lagi yang harus terhirup sang istri dan anaknya.

Pertama-tama dinasehati dan ditegur, ia hanya menganggapnya angin lalu. Namun lama-kelamaan, ia mulai merasa bosan dan tersinggung dengan teguran tersebut. “Bertahun-tahun kamu menasehati saya dengan nasehat yang sama! Kamu kira saya bodoh?? Saya sudah tahu apa yang kamu bicarakan. Tapi rokok itu sahabat sejati saya yang selalu menemani kalau saya sedang stress dan buntu!! Lebih baik kamu menerima saya apa adanya!!! Sudah tutup mulutmu sana!”bentak sang suami yang sudah bosan dengan teguran istrinya dan melupakan janji yang ia ikrarkan pada hari pernikahan.

Sejak saat itu, sang istri memutuskan untuk tidak menegur suaminya lagi tentang kebiasaan merokok tersebut, dan ia pasrah apabila harus menghirup asap rokok yang dihembuskan suaminya. Tahun demi tahun berlalu, suatu hari sang istri menemukan benjolan di payudaranya yang kemudian setelah di cek ke dokter, ada tumor pada bagian tersebut. Tak lama berselang, dokter juga menemukan bahwa sang suami terserang kanker paru-paru stadium 3.

Di saat itulah ia baru tersadar, bahwa rokok yang selama ini menjadi sahabat sejatinya telah menikamnya dalam-dalam dari belakang. Bahwa sahabatnya yang paling sejati, istrinya, justru juga telah tertikam oleh kebiasaannya merokok. Bahwa buah hati mereka yang lugu dan penuh harapan kehidupan yang indah harus terancam menjadi yatim-piatu oleh penyakit ganas yang diidap oleh kedua orangtuanya. "

Apakah ini yang dinamakan sahabat sejati ?

Pengamen Medok


Seperti biasanya tiap pagi aku selalu melalui pasar Benhil untuk terus ke kantor. Seperti suasana pasar pada umumnya, suara ketokan golok mencacah lebih keras dibanding suara teriakan pedagang mengiklankan barang dagangannya. Tak kalah para supir ojek dengan helm bodongnya mencari kesana kemari calon yang akan diantar pulang.Ada sesuatu yang berbeda hari ini, suara keras yang menggema di pasar ternyata kalah dibanding dengan suara nyanyian kelompok pengamen. Sebagian pedagang sempat terpana dari aksi pengamen yang beranggota tiga orang ini. Dengan alunan nyanyian dangdut yang khas (kalau ngak salah lagunya Ridho Irama gitu...)suasana di pasar agak berubah...apa yang menyebabkan suasana berubah, ternyata lagu dangdutnya di nyanyikan dengan logat medok jawa. Mungkin dari purwokerto, banyumas atau daerah sejenis kali. Tapi jangan salah, karena keistimewaan itu suasana jadi hidup, malahan para pedagang minta di tambah koleksi lagunya..si rambut pirang dengan kuciran pun tersenyum senang, dengan kedipan mata ke arah personil lainnya ia mulai menyanyikan lagu berikutnya di album Rhoma Irama lainnya. Ada suatu point penting akan kehadiran pengamen ini...secara tidak langsung pengamen tersebut telah memberikan suatu siklus hidup baru dan warna hidup di pasar tersebut. Walaupun kadang hanya dapat uang 500-an namun semangat hidup mereka patut di ancungi jempol. Ya itulah namanya hidup....kadang memang harus dilakoni seperti itu, karena yang kalah dalam pertarungan akan menderita hidupnya....oh ya aku lanjuti perjalanan ku ke kantor dulu ya...